Monday, September 25, 2017

ISIP4213-Sistem Politik Indonesia - Diskusi 5

Era Reformasi yang melahirkan sistem multi-partai ini sebagai titik awal pertumbuhan partai yang didasari kepentingan dan orientasi politik yang sama di antara anggotanya. Setelah reformasi, pertumbuhan Partai Politik didasari atas kepentingan yang sama masing-masing anggotanya.
Pada era reformasi ini, partai politik menghadapi persoalan terkait dengan pelembagaan partai. Umumnya, partai-partai politik menghadapi persoalan pelembagaan partai yang belum kuat, yaitu masalah ideologi dan platform, kohesivitas dan manajemen konflik, serta rekrutmen dan kederisasi. Selain itu, sistem kepartaian yang ada ternyata belum kompatibel dengan sistem pemerintahan presidensil sehingga pemerintahan tidak berjalan efektif.
Pada awal reformasi jumlah parpol yang didirikan mencapai 184 partai, dan 141 di antaranya memperoleh pengesahan sebagai badan hukum. Dari jumlah tersebut, yang memenuhi syarat untuk ikut Pemilu 1999 hanya 48 parpol. Menghadapi Pemilu 2004, jumlah parpol yang dibentuk semakin banyak. Ada
sekitar lebih dari 200 parpol yang berdiri. Dari jumlah parpol sebanyak itu hanya 50 parpol yang memperoleh pengesahan sebagai badan hukum dan hanya 24 parpol yang ikut Pemilu 2004.
Pada Pemilu 2009, jumlah parpol yang dibentuk sekitar 132 partai, dan sekitar 22 partai politik lolos verifikasi sehingga dapat ikut pemilu ditambah dengan 16 partai poitik, yang terdiri atas 7 partai politik yang lolos.
Referansi:
1. Inisiasi-5
2. Lili Romli, 2016. Online: https://jurnal.dpr.go.id/index.php/politica/article/view/292/229

FUNGSI  PARTAI   POLITIK  PADA  ERA  REFORMASI
Ketika para elit partai belakangan ini “heboh” dengan melakukan ekspansi ke berbagai institusi negara, mereka melupakan hal penting yang berkaitan dengan fungsi-fungsi partai yang mengakibatkan melemahnya fungsi partai. Dimulai dari fungsi rekrutmen, saat ini banyak partai politik melakukan cara instan dalam menentukan kader yang akan diusung dalam pemilu padahal itu akan merusak proses kaderisasi internal. Dan ini dapat merusak citra partai politik sebagai mesin yang menghasilkan calon pemimpin. Saat pemilu 2009 tidak sedikit orang-orang popular dan ber-uang yang bukan lahir dari kaderisasi partai politik yang memenuhi daftar  caleg, sementara itu kader-kader partai yang mengikuti proses secara serius  dalam kerja-kerja politik dalam partai malah “tertimbun”. Ini terjadi karena tujuan yang ada hanya untuk memenangkan posisi (baca:kekuasaan) maka bukan menjadi hal yang aneh jika kinerja dewan legislative yang terhormat semakin menurun. Beberapa partai politik bahkan ada yang menjaring calegnya melalui iklan penjaringan di media cetak nasional. Hal ini menunjukan ketidaksiapan organisasi partai politik untuk menghasilkan kader-kader  melalui proses kaderisasi internal. Kasus-kasus ini ditemukan terutama pada partai politik baru yang didirikan hanya sekedar memenuhi kuota komposisi caleg.
Fungsi berikutnya komunikasi politik dan pemandu kepentingan, dapat dikatakan fungsi ini sebagai intermediary karena menghubungkan rakyat ke pemerintah dan pemerintah ke masyarakat. Partai bertugas menyalurkan berbagai macam aspirasi rakyat dan melakukan penggabungan aspirasi atau kepentingan yang sejenis kemudian merumuskan kepentingan  (interest articulation) setelah itu menjadikannya sebagai usulan kebijakan kepada pemerintah  agar dapat dijadikan kebijakan public. Disisi lain partai politik juga menyebarluaskan rencana dan kebijakan-kebijakan pemerintah kepada rakyat. Namun yang terjadi bukan lah seperti itu, partai politik sebagai representasi rakyat tidak menyuarakan kepentingan rakyat malah mendahulukan kepentingan partai politik dan oligarkinya sehingga kebijakan- kebijakan yang dikeluarkan tidak mengena pada kepentingan rakyat. Hal seperti ini menjadikan citra partai politik buruk dimata rakyat.  Partai politik aharus dijadikan dan menjadi sarana perjuangan rakyat dalam turut menentukan bekerjanya sistem pemerintahan sesuai aspirasi mereka. Karena itu, elit partai hendaklah berfungsi sebagai pelayan aspirasi dan kepentingan bagi konstituennya.
Selanjutnya fungsi pengendali konflik, seperti sudah disampaikan sebelumnya, nilai-nilai (values) dan kepentingan-kepentingan (interests) yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat sangat beraneka ragam, rumit, dan cenderung saling bersaing dan bertabrakan satu sama lain. Jika partai politiknya banyak, berbagai kepentingan yang beraneka ragam itu dapat disalurkan melalui polarisasi partai-partai politik yang menawarkan ideologi, program, dan altrernatif kebijakan yang berbeda-beda satu sama lain. Namun yang “aneh”nya konflik bahkan terjadi dalam partai politik itu sendiri, dalam sebuah partai terdapat beberapa kubu seperti partai Golkar dan bahkan dari salah satu kubu berinisiatif mendirikan partai politik. Yang lebih mirisnya pertikaian dalam partai politik tersebut dipertontonkan ketengah khalayak. Bagaimana partai politik akan mampu mengontrol konflik ditengah rakyat Indonesia yang sangat banyak ini jika mereka tidak mampu mengontrol konflik internal mereka.
Fungsi sosialisasi politik sebagai salah satu fungsi partai po­litik ini tentu memiliki “target kongkrit” tertentu. Namun di sisi ini, dalam konteks Indonesia persoalan yangcukup pelik adalah tentang perilaku pemilih yang masih sangat “aneh”. Perilaku pemilih yang masih emosional dan tradi­sional ini tentu akan menghasilkan lembaga-lembaga dan inprastruktur politik yang tradisional pula. Sehingga sesungguhnya output dari sosialisasi politik itu harus dapat memperbarui konstruksi perilaku politik masyarakat dalam memilih. Sosialisasi politik yang dilakukan partai politik biasanya hanya pada saat menjelang pemilu saja seharusnya dilakukan secara berkelanjutan agar kekhawatiran akan terbentuknya lembaga politik yang “tradisional” terminimalisir.
Sementara itu, Partai politik yang diharapkan bisa bertindak optimal dalam menjalankan perannya sebagai intermediary, “penghubung” kepentingan “rakyat” terhadap negara hampir tidak efektif lagi. Partai politik telah terjebak pada persoalan mereka sendiri yang bagai lingkaran setan, dan juga mereka (baca: partai politk-partai politik) saling intrik, bahkan saling serang dalam menjerumuskan lawan-lawan politik yang ada di partai politik lain. Selain itu juga  mulai menampakkan tanda-tanda pergeseran fungsinya. Partai yang seharusnya bisa membawa suara rakyat kepada pemerintah berkuasa malahan bergeser fungsi menjadi suatu kendaraan politik untuk menguntungkan diri pribadi atau pun kelompok nya serta oligarkinya. Dengan begitunya partai politik tidak akan mampu mencapai tujuan partai politik seperti yang dituangkan dalam pasal 10 Undang –Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik.